Webnovel

Share

Royal Family Series : Pengantin Sang Raja (The King's Bride)

Royal Family Series : Pengantin Sang Raja (The King's Bride)

Galaxypuss | Romansa Historis

4.84

Richard adalah raja yang tak pernah menikah. Itu adalah sumpahnya setelah melihat penghianatan yang dilakukan ibunya. Namun bagaimana jika adik lelakinya yang merupakan pewaris tahta akhirnya meninggal dan memohon agar Richard menikah sebagai permintaan terakhirnya? GalaxyPuss

read now download

here story begins

Chapter 1: 001 : Last Letter

Hujan tidak lagi turun dari langit, meskipun awan mendung masih bergulung liar diangkasa. Tidak ada seorang pun yang berbicara, tak ada seorang pun yang mendongakkan kepala.

Semua orang diam bersama bau apak yang lembab dan tekanan kesedihan yang dalam.

Hari ini seluruh rakyat Chevailer tengah dirundung duka, rakyat negara dengan pulau yang dijuluki surga dunia itu tengah berduka atas kematian sosok Putra Mahkota mereka.

Wajah mereka suram, namun tak sesuram sosok yang berada di tepi liang lahat yang basah. Sosok itu membawa sebuah pigura dengan pita hitam. Ia tegap,dengan rambut sewarna bulu gagak, kulit pucat dan mata tajam gelap yang dirundung luka dan sembab. Wajahnya tenang namun semua orang tahu bahwa tak ada orang lebih terpuruk selain dirinya.

Dialah Richard, sang Raja dan orang nomor satu di Chevailer yang kini harus kehilangan satu-satunya adiknya, keluarganya, pewaris tahtanya. Richard merasa begitu pengecut, ia tak pernah ada untuk adiknya . Adiknya sudah sakit semenjak ia masih kecil, penyakit pernafasan yang dideritanya tak pernah membaik. Namun ia memaksa adiknya untuk menjadi pewaria tahta demi keegoisannya, saat hal yang paling diinginkan adiknya hanyalah ketenangan dan jauh dari segala hal tentang mahkota.

Richard merasa begitu bodoh, ia bahkan tak pernah mengunjungi adiknya kecuali ia ada urusan di daerah sekitar wilayah peristirahatan adiknya. Well, mungkin orang benar. Penyesalan selalu datang di akhir.

"Semoga Tuhan akan menjaganya dan melindunginya di sisinya. Semoga tuhan memberkatinya, amin." sang pendeta yang memimpin upacara telah berhenti berdoa, dan Richard tahu ini adalah saat untuknya mengucapkan kata terakhir bagi adiknya.

Richard melangkah maju dengan ragu, ia menatap makam yang telah dihias dengan marmer hitam mengkilap. Dengan tulisan emas kapital di atasnya.

'Berbaring dengan damai.

James Sebastian Troten Dricv.

Pangeran Muda yang akan selalu terkenang.

17-01-2017'

Richard menarik garis senyum tipis, sebeluk menaruh pigura itu di atas makam. "Jammy," Richard menyebut nama panggilannya pada James saat mereka masih kecil. "Maafkan aku untuk tidak berada di sisimu. Maafkan aku karena menjadi kakak yang buruk, Jammy. Istirahatlah dengan tenang, bahagialah di sana. Sampaikan salamku pada ayah."

Richard bangkit dengan perasaan bersalah yang semakin membuncah, ia terceguk pelan karena ia menahan tangis dan semua perasaannya sekuat tenaga.

"Yang Mulia Raja," panggil seorang lelaki dengan nada tenang.

Richard menoleh, dibelakangnya berdiri seorang pria berusia lanjut. Itu Charles, sekertaris pribadinya.

"Ada apa?" tanya Richard.

"Kita harus kembali sekarang. Dewan Istana dan Perdana Menteri telah menunggu."

Richard menghela nafas, "Ya. Kita kembali sekarang."

Richard menatap makam James untuk yang terakhir, tangannya meraih setangkai bunga iris yang ia selipkan sedari tadi di dalam jasnya. Itu adalah bunga faforit James.

"Aku pergi, dan aku tidak janji akan sering-sering datang," bisik Richard, "Sampai jumpa adik kecil."

°°°

Perjalanan menuju istana terasa begitu memuakkan bagi Richard, ia duduk tenang di kursi belakang dan masih berusaha keras untuk tetap dalam keadaan adem ayem. Walau rasanya ia ingin sekali terjun ke sungai sekarang juga dan melupakan semuanya.

Bukannya bersikap berlebihan atau apa, masalahnya ia paham topik apa yang membuat Dewan Istana dan Perdana Menteri gerusah-gerusuh ingin berkumpul. Apalagi jika bukan masalah penerus tahta?

Adiknya baru meninggal, membuat posisi pewaris kosong. Sementara ia jelas tak akan pernah memiliki seorang anak.

Richard tertawa miris, bagaimana dia mau punya anak, jika menikah saja membuat ia merasa geli dan alergi. Ia benci dan tak pernah percaya apa yang orang katakan sebagai pernikahan, fakta bahwa hal itu hanya terjadi sekali seumur hidup dan dilandasi oleh cinta. Demi Tuhan, Richard seratus-persen-positif-tidak percaya.

Bagaimana ia bisa percaya? Jika wanita yang melahirkannya mempertontonkan kenyataan bahwa menikah bisa terjadi tanpa cinta dan ikatan yang katanya sekali seumur hidup bisa ditinggalkan begitu saja.

"Yang Mulia. Kita sudah sampai," ucapan itu membawa Richard mendongak. Ia menatap pada bodyguard yang membuka pintu mobilnya dengan lelah. Ia keluar dengan agak resah, namun tetap berdiri tegak dengan dagu terangkat setelah berada di luar mobil. Bagaimanapun ia adalah Raja, dan ia harus tetap berwibawa. Apapun yang terjadi.

Begitu Raja Muda tiba di aula rapat, seluruh orang yang berada di sana bangkit berdiri. Mereka baru duduk setelah Richard duduk di kursi di ujung ruangan. Seluruh orang itu menunduk di kursi mereka di sisi kanan dan kiri Richard, tak seorang pun berani berkata. Hingga seorang lelaki yang duduk di kursi sebelah kanan paling dekat dengan kursi Raja bangkit berdiri.

"Yang Mulia," pria itu berucap lalu membungkuk ke arah Richard. "Kami berduka begitu dalam atas kematian mendiang Pangeran James. Namun pada saat ini keadaan tengah begitu genting karena posisi penerus tahta tengah kosong, sementara anda tak memiliki istri yang bisa memberikan penerus, dan anda juga tidak memiliki seorang penerus lain. Rakyat tengah berduka, namun juga khawatir akan masa depan negeri kita Yang Mulia."

Richard menghela nafas. Tangannya bertumpu di tepi kursinya, memijat pelipisnya dengan letih.

"Aku tahu perdana menteri," ucap Richard. "Tapi tak ada yang bisa aku lakukan."

Perdana menteri tampak gelagapan sesaat, ia menelan ludah gugup dan akan membuka mulut saat ia disela oleh Richard.

"Aku tidak akan menerima penyelesaian apapun jika berhubungan dengan pernikahan, tida satupun."

Pandangan Richard menjadi tajam dan ia langsung duduk tegak. Matanya memicing ke arah Perdana Menterinya itu. "Kau tidak menyarankan sebuah pernikahan untukku kan?"

"Ti..,tidak Yang Mulia. Saya," Perdana Menteri tergagap. "Saya hanya..saya tidak menyarankan pernikahan untuk anda tentu saja."

Richard tersenyum dingin, "Tentu saja, aku tahu. Kau tak akan menyarankah hal bodoh itu."

Ia kemudian memandang Perdana Menteri demgan tenang sebelum berucap. "Bawa semua nama putra Duke-bangsawan istana- di Chevailer. Bawa yang berusia dibawah 23 tahun, dan pastikan ia terdidik."

Perdana Menteri mengerutkan kening, "Yang Mulia tidak akan mencari pewaris dari mereka bukan?"

Richard tersenyum, "Entahlah. Kita akan lihat, lakukan dengan cepat dan aku mau berkasnya sudah di mejaku besok." Richard berdeham, "Rapat selesai."

Richard bangkit dengan cepat dari kursinya, dan melangkah menuju ruang kerjanya. Charles yang sedari tadi mengekor dibelakangnya menutup pintu dan berdiri di sisi meja kerja Richard.

"Kau bilang ada surat dari James," ucap Richard. "Apa isinya?"

Charles menunduk, "Saya belum membuka suratnya Yang Mulia."

Kening Richard berkerut, ia dan James memang sering saling berkirim surat. Walaupun dimasa sekarang ada yang dinamakan E-mail dan telpon, namun James suka mengirim surat untuk berbincang dengan Richard. Sehingga walau terasa aneh, Richard memilih menurutinya. Sementara Charles sendiri adalah tukang pos mereka, ia kadang yang membaca surat James pada Sang Raja, dan membalasnya saat Raja terlalu sibuk.

"Kenapa kau belum membacanya Charles?" tanya Richard.

"Saya rasa," Charles diam. "Ini adalah surat terakhir yang ditulis oleh Pangeran James, dan akan lebih baik jika anda sendiri yang membaca surat itu Yang Mulia."

Richard terdiam mendengar kata-kata Charles, sekali lagi ia ingin menangis. Namun ia memilih berdeham dan memalingkan muka.

Richard menarik nafas, "Ya. Aku akan membacanya sendiri, dimana suratnya?"

Charles menunduk sesaat, sebelum menarik sebuah surat yang dibungkus dalam amplop warna abu-abu, warna faforit James.

Charles mengulurkan surat itu dan Richard meraihnya pelan. Ia tak langsung membuka surat itu, ia hanya menatap amplopnya yang polos dan menghela nafas. Dengan ragu ia membuka amplop itu dan menarik suratnya, gemetar ia membuka lipatan surat dan membacanya.

Suratnya ditulis di atas kertas warna tulang dengan tinta biru, di beberapa bagian ada kalimat yang luntur karena air. Richard menyimpulkan bahwa adik lelakinya itu menulis sambil menangis, dan itu membuat ia merasa ada sesuatu yang mencelos di perutnya.

Untuk kakakku..

Hai kak,apa kabar?

Sudah lama aku tidak mengirim surat dan bercerita padamu. Apa kau sibuk sekarang?

Kemarin aku melihat beritamu di tv. Aku tidak suka dengan kantong matamu, itu bahkan lebuh buruk dari punyaku.

Kak, apa kau tahu? Aku bermimpi melihat ayah semalam. Kami berbicara dan ayah bilang dia bangga padamu.

Kak, apa kau akan marah kalau aku ikut kerumah ayah disana? Aku bukannya tidak ingin bersamamu, aku tahu kau hanya punya aku. Tapi aku merasa lelah sekali sekarang. Jadi aku ingin bertemu dengan ayah.

Kakak. Aku ingin bilang bahwa ini mungkin adalah surat terakhirku, dan aku inigin menyampaikan sesuatu padamu. Ingat, natal tahun kemarin kau tidak bisa menemaniku dan berkata akan menuruti permintaanku. Apapun itu, jadi kak. Boleh aku minta padamu sekarang?

Aku ingin kau menikah. Aku tahu kau akan marah dengan permintaanku, tapi aku memohon padamu. Jika aku pergi kau akan sendirian, dan aku tak mau itu terjadi. Aku ingin kau memiliki seorang teman. Jadi aku ingin kau mau menikah.

Kak. Aku mohon kabulkan permintaanku ini, aku mohon padamu. Aku ingin kau bahagia tanpa aku, dan aku ingin kau tidak sendirian.

Lagipula, aku bahkan tak tahu sampai kapan aku bisa tetap ada di sini.

Kak, aku pikir aku akan berhenti menulis sekarang. Aku merasa lelah sekali, jadi aku aka istirahat sekarang. Sampai jumpa. Aku mohon berbahagialah, dan aku ingin kau tahu, aku selalu bangga menjadi adikmu.

Love, james

.

Richard terdiam tanpa kata setelahnya, ekspresinya masih datar. Namun kedua matanya memerah dan tampak basah, pandangannya kosong dan hening panjang terasa menyesakkan dalam ruangan.

"Dia..," bisik Richard. "Ingin aku menikah Charles. Itu permintaan terakhirnya."

Charles terdiam namun wajahnya menunjukkan rasa khawatir yang besar, bagaimanapun juga. Ia telah ada di istana sejak mendiang Raja-ayah Richard-masih hidup. Ia bertahan disana, dan bahkan ia adalah orang yang ikut merawat Richard dan James sejak mereka masih kecil. Baginya, dua lelaki itu sudah seperti anaknya sendiri.

"Yang Mulia..-,"

"Charles," bisik Richard parau. "Apa yang harus aku lakukan? Ini permintaan terakhirnya. Apa yang harus aku lakukan?"

Tapi, tak ada suara yang bergema sebagai jawaban atas kegelisahan Richard. Ia bahkan tak tahu, apa ia akan punya sebuah pilihan.

××××××××××××××××××××××××××××××××××××××

Continue Reading