Webnovel

Share

Synopsis

(cerita sedang dalam tahap revisi, revisinya hanya ada di wattpad. tinggal cari nama pena Army_VJ aja. makasih atas ke setiaan kalian) Ketika Kim Sena merasa tidak ada lagi hal yang perlu ia perjuangkan dalam hidupnya. Secara kebetulan Jimin hadir di hidupnya. Melamarnya dan mengatakan kalau Jimin sangat mencintai Sena dan berjanji akan membahagiakan Sena selamanya. Ini terasa konyol, tapi nyata. Awalnya, Sena menganggap itu semua hanya gurauan belaka. Tapi, keseriusan Jimin yang Sena rasakan melalui perhatian dan perlakuan pria itu. Membuat Sena, mengambil satu langkah yang sangat salah. Sena menerima lamaran dari Park Jimin. Sosok pria, yang telah mengukirkan kebahagian baginya dan membantunya sembuh dari rasa luka. Tapi, Jimin juga pria yang kembali menorehkan rasa luka di hati Sena serta yang telah merenggut kepercayaan darinya. Sena, di bohongi oleh Jimin dalam pernikahan ini.

Top reviews

here story begins

Chapter 1: 회의 - Meeting

Hai, ini adalah revisi dari novel Fake Wedding. Bagi kalian yang mungkin sebelumnya udah pernah baca dan masih agak engak nge dengan alurnya atau pusing bacanya. Jadi di sini, aku revisi cerita dengan menceritakan sosok Sena dan Jimin dari sundut pandang orang ketiga. Jadi buat kalian yang masih penasaran dengan alur serta ceritanya. Bisa di baca di sini. Jangan lupa kasih coment, ulasan dan vote kalian untuk cerita ini. See You.

Aku usahain di update paling enggak satu Minggu dua kali, tapi kalau enggak bisa tetep satu Minggu sekali. Dan untuk kalian pembaca baru, di tunggu ya kelanjutan ceritanya.

***

(telah di revisi)

Sayup-sayup mata wanita itu mulai terbuka. Dengan rasa sakit yang masih menerjang kepalanya, wanita dengan rambut oval, berwarna coklat gelap sebahu ini, berusaha untuk bangkit dari posisi telentang di atas kasur berukuran cukup besar ini. Tubuhnya yang masih terasa lemas, membuatnya membutuhkan sejumlah upaya untuk dapat bangkit.

Setelah berhasil, ia menyandarkan punggung mungilnya pada punggung kasur. Mata coklatnya yang belum bisa melihat dengan jelas, di paksakan olehnya untuk melihat sekeliling kamar yang tampak asing ini.

"Dimana aku?" gumamnya pelan, setelah ia berhasil melihat dengan jelas sekeliling kamar yang terlihat sepi dan rapi.

Sebuah kamar yang sangat besar tapi, minim perabotan. Tidak ada, benda istimewa di kamar ini. Bahkan sebuah televisi tidak ada. Hanya terdapat lemari pakaian berukuran lumayan besar berwarna hitam pekat, lalu sebuah meja kerja yang terlihat sederhana tapi elegan dengan tumpukan berkas yang tersusun rapi di atasnya, serta sebuah nakas kecil di ke dua sisi tempat tidur yang saat ini di tempati oleh wanita bernama Sena.

Hanya dengan melihat perabotan dan warna di kamar ini, Sena yakin seratus persen kalau, kamar yang saat ini di tempati olehnya adalah kamar seorang laki-laki. 

Tapi, siapa laki-laki yang membawanya ke mari?. Tidak mungkin Junsu, kan? pria brengsek yang tegah memutuskan hubungan dengannya saat ia sedang terpuruk dengan kematian ibunya yang mendadak. Terlebih, pria itu berselingkuh darinya.

Sena memegangi kepalanya yang berdenyut. Sakit sekali. Lalu, matanya menangkap selang infus yang tertancap sempurna di punggung tangan kanannya. Ia memperhatikan sekilas selang infus itu. Pria yang membawanya kemari, pasti pria baik hati. batinnya.

Baru saja, Sena ingin menginjakan kakinya di atas lantai kayu coklat. Suara pintu kamar yang terbuka, membuat Sena menoleh. Matanya memandangi sosok pria dengan postur badan lumayan tinggi sedang berjalan ke arahnya. Pria berambut hitam itu, terlihat rapi dan keren dengan setelan jas hitam yang ia padukan dengan kemeja putih polos tanpa dasi.

Siapa pria ini? Tampan sekali. kalimat pertama yang terlintas di benak Sena, saat pertama kali melihat wajah pemuda yang masih menjadi misteri baginya.

"Kau sudah sadar... istriku?" sapa nya santai dengan ulasan senyum tulus, setelah pria berkulit putih ini berada di hadapan Sena dan berjongkok memandangi wajah Sena yang masih melongo di atas kasur karena ke hadiran pria ini.

Alis Sena saling bertautan. Ia tidak bisa mencerna ucapan pria ini. Sena ke bingung-gan. Dia, tidak salah dengar, kan?. Pria yang masih memasang senyum padanya ini, baru saja memangilnya dengan sebutan 'istriku'. Yang benar saja!.

Bahkan setelah memanggil Sena dengan embel-embel 'istriku'. Pria ini tidak peduli dengan perubahan raut wajah Sena yang terlihat kaget bukan main. Seolah-olah sapaan yang terlontar dari bibir pria yang cukup tebal ini, wajar adanya. Mata Sena yang semula hanya memandang biasa pada pria ini kini, terbuka lebar. Ia, menuntut sebuah penjelasan.

"Istri?" ulang Sena pelan.

Pria ini, tidak menggubris ucapan Sena yang masih menunggu respon darinya. Pria yang masih belum di ketahui identitasnya ini, malah berangsur mengulurkan tangannya ke kening Sena dan menyentuhnya untuk beberapa saat. Memeriksa, apakah demam Sena semalam sudah turun.

Terdengar suara hembusan nafas ringan dari pria ini. "Demam mu, masih cukup tinggi." ujarnya. Ada raut khawatir di wajah pria ini tapi, Sena tidak mengerti. Kenapa dan mengapa pria ini bertingkah seperti ini.

Dengan tenaga yang masih belum terkumpul sepenuhnya, Sena menepis tangan pria di hadapannya yang masih menempel pada keningnya dengan sedikit kasar. Bukannya marah atau kesal, Pria ini malah tersenyum simpul pada Sena.

"Jelaskan padaku ucapan mu barusan, Istri?" tanya Sena, tidak habis pikir.

Sena berani bersumpah, kalau ia tidak mengenal sama sekali pria ini. Nama pria ini saja, Sena tidak tahu. Melihatnya saja, ia tidak pernah. Jadi, bagaimana bisa pria berkulit putih susu ini menjadi suaminya. Lagi pula, seingat Sena, ia tidak pernah berdiri di pelataran dengan pria ini. Bahkan, mengucap janji suci saja tidak pernah. Sena sendiri tidak tahu bagaimana cara mengucapkan janji suci dan yang terpenting, status Sena saat ini masih singel.

Sena yakin, dia tidak sedang amnesia. Dia ingat segala hal tentangnya, mulai dari namanya sendiri, nama ibu dan ayah, statusnya saat ini, nama mantan pacar serta wajah, meskipun hanya satu yaitu Junsu dan juga masa lalu hidupnya yang begitu kelam. Sena ingat segalanya.

Tapi bagaimana bisa pria ini..., sungguh tidak masuk di akal. batin Sena kesal.

Hanya seulas senyum, yang pria ini lontarkan sebagai bentuk responnya terdapat pertanyaan Sena yang begitu menuntut. Membuat darah mendidih seketika di dalam diri Sena. Ah, sudahlah. Ia, juga tidak terlalu begitu penasaran. Hanya kaget, itu saja.

Lagi pula, siapa wanita di dunia yang tidak akan kaget, ketika seorang pria yang tidak di kenal sama sekali, tiba-tiba menyapa dengan sebutan istriku. Bahkan, ketika kita baru sadar dari pingsan.

Sudah pasti, pria ini punya gangguan jiwa. Sena yakin itu. Tidak mungkin, kan pria waras akan melakukan hal barusan? Kecuali jika pria waras itu, tidak bisa mendapatkan seorang wanita untuk di jadikan sebagai istri karena visualnya yang tidak menjanjikan.

Bahkan, pria di bawah rata-rata saja, bisa mendapatkan istri. Walaupun bukan karena model tampang, yang penting itu hati dan perasaan tulus.

Tapi, lihat pria di hadapan Sena sekarang. Pria ini tampan, putih, cukup tinggi untuk ukuran seorang pria dan manis, sangking manisnya mungkin Sena bisa terserang diabetes. Dan satu yang pasti, pria ini tulus dan secara finansial menjanjikan. Baru lihat saja, pasti wanita-wanita sudah langsung jatuh cinta.

Cukup. Sena tidak ingin lagi, membahas atau pun menebak-beka tentang pria ini.  Lebih baik ia segera pergi dari sini, sebelum nantinya ia juga, ikut ketularan sakit jiwa karena pria ini.

Tangan kiri Sena bergerak hati-hati melepas plester bening yang digunakan untuk merekatkan selang infus di punggung tangan kanannya. Baru saja, ia ingin mencabut plester bening yang sudah berhasil ia lepaskan itu, pria yang sejak tadi memperhatikan gerak - geriknya, buru-buru menghentikan Sena.

Dengan raut wajah kesal, pria ini memarahi Sena. "Kau akan terluka nanti!" ucapnya cepat. "lagi pula, kau masih belum sembuh total, dan dokter menyarankan untuk kau tetap menggunakan selang infus. Jadi, aku mohon padamu... jangan melakukan sesuatu hal yang dapat membahaya, kan dirimu sendiri." sambungnya memperingati, masih dengan wajah kesal bercampur khawatir.

Sembari merekatkan kembali plester bening di punggung tangan Sena. Pria dengan rambut hitam tebalnya ini tidak henti-hentinya khawatir. Ia takut jika, tindakan ceroboh Sena barusan akan membuat darah mencuat dari punggung tangannya. 

"istirahat lah..., aku akan menyuruh Dokter Shin untuk datang ke mari memeriksa kondisimu" Pria itu menatap Sena sejenak, lalu ia bangkit dari posisi jongkok kemudian berbalik meningalkan Sena, yang masih memandanginya dengan heran.

Jujur, Sena tidak mengerti. Alasan kenapa pria ini begitu baik dan perhatian padanya. Semuanya terasa aneh baginya, mendapatkan perhatian dari pria yang bukan berstatus sebagai siapa-siapa dalam hidup Sena, membuat wanita ini tidak mengerti.

Pria itu berbalik sesaat memandangi Sena, saat kakinya sudah sampai di depan pintu kamar. Di tatapnya wajah Sena yang masih sedikit pucat dengan khawatir. Seandainya, ia bisa meninggalkan pekerjaannya dan tidak perlu menghadiri pertemuan dengan klien bisnisnya yang berasal dari Cina.

Ingin sekali, ia berada di sisi Sena. Menemani wanita itu sampai pulih. Tapi, ia tidak bisa. Pertemuan ini sangat penting baginya, ini menyangkut perusahan yang telah ia bangun susah payah dengan usahanya sendiri selama lebih dari lima tahun.

"Dan satu hal lagi..., jangan mencoba untuk kabur dari rumah ini... karena akan sulit bagiku untuk menemukanmu... lagi" ucap pria itu mengakhiri. Lalu, ia meninggalkan Sena yang hanya bisa menatap kepergian pria itu tanpa mampu berkata-kata.

Sena tercengang dengan ucapan yang terlontar dari bibir pria itu. Lagi. batinnya. Bukankah itu berarti, mereka pernah bertemu sebelumnya?, Tapi dimana?. Sena tidak ingat. Atau mungkin, Pria itu kakak kelas Sena semasa sekolah dulu, yang diam-diam menyukainya, tapi tidak berani menyatakan cinta padanya?

Ah, sudahlah. Memikirkan semua ini tak akan pernah ada ujungnya. Lebih baik ia merehatkan tubuhnya yang masih belum sepenuhnya pulih ini.

Sena merebahkan tubuhnya kembali di atas kasur. Mata coklatnya, memandangi langit-langit kamar ini tanpa antusias. Satu hal yang ia ingat dari kejadian semalam, kalau ia hampir saja di tabrak oleh sebuah mobil di tengah guyuran hujan yang lumayan deras, karena ingin cepat mengakhiri hidupnya.

Memikirkan kejadian beberapa hari lalu, membuat Sena kembali terasa sedih. Air matanya mulai mengenang dan beberapa detik kemudian membasahi kedua pipinya.

Sena tahu, memikirkan ibunya yang sudah meninggalkan dunia, pasti akan membuat hati ibunya tidak tenang dan juga sedih. Tapi, apa yang bisa ia perbuat. Sena begitu merindukan sosok ibunya, wanita yang membesarkannya dengan penuh kasih sayang dan cinta.

Tangis Sena berlangsung cukup lama, sampai rasa berat menerjang mata dan kepalanya. Membuat kelopak matanya terasa berat. Ia pun memejamkan kedua matanya dan tertidur dengan air mata yang masih mengalir di ujung matanya yang sudah tertutup rapat.

***

Setelah tidur sekitar 1 jam lebih, Sena merasa kondisi tubuhnya mulai membaik. Hanya saja, perutnya yang belum terisi sejak beberapa hari yang lalu terasa lapar. Padahal ia sudah di infus semalaman. Maklum, cacing di perut Sena sangat agresif.

Sembari memeluk erat perutnya yang keroncongan, agar tak terdengar oleh penghuni rumah ini. Sena melangkah perlahan meninggalkan kamar. Baru beberapa langkah ia berjalan keluar. Matanya langsung di manjakan dengan ke indahan rumah yang hanya memiliki satu lantai ini. Sangat megah dan besar.

Perabotan yang terlihat mewah tapi simpel itu mengisi setiap sudut dari rumah ini. Terlebih lagi, di dalam rumah ini, terdapat rumah kaca berukuran cukup besar yang berada di depan ruang makan. Sangat cantik dan terlihat asri. Bahkan, rumah yang dindingnya di hiasi dengan jendela berukuran besar menampakan sebuah taman luas dengan rerumputan hijau.

Sena yang sedari tadi, terpikat dengan keindahan rumah kaca yang disinari cahaya matahari itu, secara reflek berjalan mendekat ke sana. Belum sempat, kakinya menginjak rumah kaca yang tertutup rapat itu, langkah kaki Sena spontan terhenti saat wanita paru baya yang mengenakan pakaian pelayan menghampirinya dan menyapanya dengan ramah.

"Anda sudah bangun Nona." Sapa wanita paru baya sekitar usia lima puluh tahun.

"Oh... iya." jawab Sena singkat.

Wanita itu tersenyum. " Perkenalkan, saya kepala pelayan di rumah ini... anda bisa memanggil saya Bibi Jung." ucapnya memperkenalkan diri.

"Anda pasti lapar." tebak Bibi pelayan, saat melihat Sena memegang perutnya yang keroncongan. "Ayo, saya antar ke meja makan." ajaknya sopan.

Awalnya, Sena ragu untuk menerima tawaran Bibi Jung yang sudah berada di depan meja makan dan menarikan kursi untuknya. Sena hanya merasa ini semua tidak masuk akal.

Dia bukan siapa pun di rumah ini. Kalau pun, Sena di undang sebagai tamu. Mana ada tamu, yang dibiarkan sendirian di rumah tanpa pemiliknya. Kecuali, jika tamu itu sudah sangat akrab atau spesial.

Apa pria itu tidak takut Sena akan mencuri atau membobol brangkas miliknya? Atau membawa seseorang ke dalam rumah ini untuk bersekongkol merampoknya?. Walaupun, itu bukan tindakan yang akan Sena lakukan.

Ia cukup tahu diri. Selain itu, Sena juga tidak ingin terlihat lebih lama dengan pria itu. Sena janji, ia akan mengembalikan semua biaya pengobatan yang telah pria itu keluarkan untuknya.

Oleh karena itu, Sena merasa tidak pantas untuk makan di rumah orang yang tidak ia kenal. Tapi, cacing di perus Sena tidak mau berkompromi. Mereka mengadakan demo, besar-besaran di dalam perut Sena.

Karena sudah tidak tahan lagi, Sena memutuskan untuk berjalan menghampiri Bibi Jung di meja makan. Ia tersenyum ragu pada Bibi Jung sekilas.

"Apa... tidak apa, jika aku... makan?" tanya Sena ragu.

Bibi Jung tersenyum sesaat. "Tentu Nona. Tuan meminta saya untuk melayani anda dengan sebaik-baiknya, jadi anda boleh menyantap hidangan ini." Jelas Bibi Jung sembari mempersilakan Sena menyantap hidangan di atas meja.

Sena menyantap hidangan di hadapannya dengan begitu lahap. Mulai dari sup kimchi panas, sampai bulgogi kualitas premium. Semuanya masuk ke dalam perut Sena membuat wanita itu bersendawa kecil. Karena kenyang.

"Maaf." ucapnya pada Bibi Jung yang sedari tadi memandanginya.

Melihat Sena yang sangat menikmati masakannya, membuat Bibi Jung tersenyum senang.

"Apa anda ingin tambah nasi?" tanya Bibi Jung sopan. Ketika mangkuk nasi Sena  hampir  kosong.

Sena menggeleng sopan. "Tidak perlu."

Selagi mengunyah nasi di dalam mulut, Sena terus saja memandangi rumah kaca yang berjarak 5 meter di hadapannya ini.

Memikirkan pria seperti itu memiliki rumah kaca yang cantik dan terawat. Sudah pasti,  rumah kaca itu, sangat berarti baginya. Mungkin saja, rumah kaca di hadapanya adalah tempat favorit pacar pria itu terdahulu.

"Bukankah rumah kaca itu sangat cantik?" tanya Bibi Jung yang mengekori sudut pandang Sena.

"Oh...Cantik."

Sena mengunyah bulgogi dalam mulutnya. "Apa...  pria itu yang membangun sendiri rumah kaca ini?, atau pacarnya yang meminta?" tanya Sena penasaran.

Sena sendiri juga tidak tahu, mengapa ia begitu ingin tahu tentang rumah kaca itu. Ia penasaran. Lebih tepatnya, ia penasaran dengan pria misterius yang membawanya kemari.

"Namanya Park Jimin." jawab Bibi Jung.

Sena mengangguk beberapa kali. "Jimin?" ulangnya.

Bibi Jung menatap rumah kaca itu sekilas. "Bukan pacarnya..., tapi Ibu Tuan Jimin  yang ingin membangun rumah kaca di dalam rumah."

Sena yang sadar dengan perubahan suara Bibi Jung memilih hanya mengangguk ringan. Lagi pula, ia tidak butuh informasi apapun mengenai pria bernama Jimin.

Toh, setelah Jimin kembali. Sena akan langsung pergi dari rumah ini. Ia tidak butuh penjelasan apapun dari Jimin. Lagi pula, Sena yakin Jimin tidak mungkin melakukan hal macam-macam padanya semalam. Kalau memang benar, Sena hanya perlu datang lagi ke mari dan menuntut pertanggung jawaban. Beres.

Sena kembali, melanjutkan santap siangnya. Sesekali, wanita ini memuji masakan Bibi Jung yang tak kalah enak dari masakan restoran bintang lima.

***

Dokter Shin yang di bicarakan Jimin tadi pagi, datang ke rumah ini dan memeriksa kondisi tubuh Sena. Tidak ada hal serius yang terjadi pada Sena. Wanita ini, hanya kelelahan dan butuh istirahat sera asupan gizi yang cukup.

Sembari mengecek temperatur darah Sena. Dokter Shin yang terlihat seumuran dengan Jimin ini memandanginya sambil tersenyum kecil.

"Ada apa?" tanya Sena penasaran.

Sadar dengan sikapnya yang sedikit aneh di mata Sena. Buru-buru Dokter Shin menggeleng, tapi masih dengan seulas senyum manis di wajah cantiknya. "Bukan apa-apa." jawabnya di akhiri tawa singkat.

Bukan apa-apa, tapi malah tertawa seperti ini. Apa semua orang yang masuk ke rumah ini akan jadi gila?.

"Saya hanya masih heran saja dengan Jimin." ujarnya sambil memeriksa suhu tubuh Sena dengan alat termometer yang diletakkan ke telinga wanita itu.

"Biasanya, jika Jimin membutuhkan saya. ia hanya akan menelepon saja. Tapi... untuk anda, Jimin mengunjungi saya sendiri ke rumah sakit dan meminta saya untuk mengobati anda sampai sembuh." sambungnya  lagi dengan tawa yang tak bisa ia tahan.

"Bahkan ia mengancam, akan mencabut semua investasi di rumah sakit jika saya tidak menyembuhkan anda sampai total. Konyol sekali kan Jimin?"  tawa Dokter Shin sepenuhnya mengisi rumah  yang tanpa sunyi ini.

Alis Sena, saling bertautan. Mendengar cerita Dokter Shin, membuat Sena menjadi sangat penasaran dengan sosok Jimin. Pria yang menurut Sena tak pernah ia kenal itu, entah kenapa bisa begitu perhatian padanya.

"Mungkin, ini yang di namakan cinta... cinta bisa membutakan siapa saja dan bahkan bisa mengubah seorang pria arogan yang hanya mementingkan dirinya sendiri menjadi begitu perhatian pada orang lain." ucapnya dengan seulas senyum.

Sena hanya mendengarkan ucapan Dokter Shin tanpa berkomentar. Ia tidak tahu, bagaimana cara menangapi ucapan Dokter Shin. Salah-salah, ia bisa di tuntut karena melakukan pencemaran nama baik.

Selagi mengobrol beberapa hal dengan Sena, Dokter Shin selesai memeriksa kondisi tubuh Sena yang tampak baik-baik saja itu. ia pun, undur diri dari hadapan Sena yang ikut mengantar kepergian Dokter Shin ke ambang pintu.

Baru saja, kaki Dokter Shin sampai ke ambang pintu berwarna coklat tua. Jimin pria yang sejak tadi mereka bicarakan. Muncul di depan pintu, dan membuat Dokter Shin serta Sena binggung dengan kehadiran Jimin di jam sibuk seperti ini.

Tanpa mempedulikan sapaan Dokter Shin padanya. Jimin bergerak ke arah Sena. Memegang kedua tangan wanita itu. Lalu, dengan satu tarikan nafas. Jimin melamarnya di depan Dokter Shin yang sama terkejutnya seperti Sena.

"Ayo kita menikah... Sena." ucapan Jimin membuat Sena terkejut setengah mati.

Sena pasti sedang bermimpi saat ini. Tidak mungkin pria yang baru ia kenal hari ini mengajaknya menikah. Tidak!, Sena bahkan tidak mengenali pria ini. Hanya sebatas nama, bukan berarti kenal.

Jimin pasti sungguh tidak waras. Kelala pria ini, pasti terbentur di suatu tempat dan jadi gila seperti sekarang. Ia tidak mungkin di lamar seperti ini kan?.

***

Continue Reading